Selasa, 25 Maret 2008

MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA:

I. PENDAHULUAN
Dalam dekade beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak digulirkannya reformasi tahun 1998 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 perbincangan mengenai peran militer (TNI) khususnya peran Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) semakin banyak diperbincangkan serta melahirkan banyak istilah mengenai peran TNI, Back to Basics, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, Kembali ke barak adalah sebagian dari banyak istilah yang muncul tersebut.
Menghangatnya perbincangan back to basics ini terjadi lebih-lebih setahun setelah berlangsungnya pemilu 1992, ketika para wakil rakyat sedang bersidang untuk memilih presiden untuk periode berikutnya dan menjelang pemilihan ketua umum Golkar saat itu. (Santoso, 1995: 140)
Peran dan posisi militer (TNI) dalam percaturan dan sistem politik Indonesia adalah sejarah panjang bangsa ini. Tentara dalam sejarah kelahirannya berperan aktif dalam kehidupan politik bangsa dan merupakan salah satu kekuatan dalam perjuangan bangsa.
Dalam periode pra kemerdekaan, peran politik tentara diwujudkan melalui kegiatan politik para laskar pejuang, yang karena kesadarannya mengangkat senjata berupaya untuk mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia. Pada periode berikutnya, peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Di awal tahun 1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik bangsa Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai. Kondisi kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan, pemerintahan jatuh-bangun dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena masing-masing partai lebih cenderung memperjuangkan kepentingan ideologi partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh.
Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik ini dikukuhkan secara formal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11 November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6)
Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an. Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA).
Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reformasi 1998) terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil.
Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden. Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam fungsi keamanan ataupun karena tidak dapat dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat “analitik” dan “prosfektif” ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshif yang memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23)
Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis dengan ikut serta dalam pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil (civil society)?

II. MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
Lahirnya Tentara Nasional Indonesia
Membicarakan kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bis lepas dari perkembangan militer dimasa pemerintahan Jepang. Kelahiran Tentara Nasional Indonesia tidak bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia atau Proklamasi 17 Agustus 1945. (Karim, 1989: 21)
Dalam catatan sejarah menunjukkan bahwa model gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelum tahun 1940-an, lebih banyak menempuh jalan diplomasi dengan tekanan-tekanan intelektual guna membentuk opini massa, daripada jalan kekerasan dan peperangan. Namun semenjak memasuki tahun 1940-an telah muncul generasi-genaerasi yang tidak sabar terhadap cara perjuangan generasi tua yang masuk dalam generasi kebangsaan tersebut. Mereka telah menemukan caranya sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan tidak mungkin hanya melalui jalan berunding dengan pengajuan petisi, tanpa diikuti oleh tekanan aksi fisik (tindakan militer).
Ketidak sabaran generasi muda tersebut telah mendorong terjadinya revolusi. Jalan pintas yang radikal telah membuahkan cara berpikir yang pragmatis, melakukan aksi perang. Dalam peristiwa tersebut telah melahirkan anak-anak revolusi dan dampaknya telah berhasil mendorong secara cepat terealisasikannya konsep-konsep menuju kemerdekaan yang telah dipupuk sejak pergerakan kebangsaan. (Dydo, , 1989: 26-27)
Sebelum lahirnya Tentara nasional Indonesia, di negara kita dikenal adanya Heiho dan PETA. Banyak Putera Indonesia yang memasuki Heiho dan PETA ini. Pembentukn dua organisasi butan tenta Jepang ini sudah barang tentu dilatar belakangi oleh maksud-maksud penjajahan Jepang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di negara kita. Di samping itu dikenal pula KNIL, tentara Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan merupakan suatu organisasi militer resin, melainkam bersifat kerakyatan. (Karim, 1989: 21)
Tidak adanya kesatuan tentara (Angkatan Perang) permanen yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia sejak diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, menimbulkan keheranan dan tanda tanya besar oleh beberapa pimpinan pejuang yang bergerak dalam bidang ketentaraan. Oerip Soemohardjo, seorang pensiunan Mayor KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger), mengatakan “Aneh, suatu negara zonder Tentara” (Dydo, 1989: 26)
Mengingat eksistensi kemerdekaan yang semakin hari semakin terancam dengan adanya usaha-usaha kaum pejajah untuk kembali ke Indonesia, dan Marsekal Terauchi diperintahkan oleh Mac Arthur untuk meampertahankan status quo di daerah pendudukannya serta mendaratnya Tentara Inggris di Jakarta pada tanggal 16 September 1945 yang dipimpin oleh Lord Louis Mounbatten yang mendesak jepang untuk mempertahankan status quo telah pula membuat anggota Badan Keamanan rakyat (BKR) semakin berani berhadapan dengan tentara Jepang. Dan semakin bertambah panas setelah datangnya pasukan tambahan tentara Inggris pada tanggal 29 September 1945 di bawsah pimpinan Sir Philip Christison.
Adanya kenyataan yang demikian itu membuat para pemimpin pemerintahan kita saat itu menyadari betapa pentingnya sebuah angkatan perang (tentara) dalam mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Stafnya, dan sehari setelah itu pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat yang mengangkat Suprijadi sebagai menteri Keamanan Rakyat.
Setelah lahirnya TKR, maka BKR, PETA, KNIL, Heiho, dan lasykar-lasykar lainnya, oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dikeluarkan perintah mobilisasi TKR, yaitu dengan menyatukan lembaga-lembaga yang telah ada selama ini di bawsah panji TKR.
Atas prakarsa Markas tertinggi TKR pada tanggal 1 Januari 1946, dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah No. 3/SD. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat” dan Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi “Kementerian Pertahanan”. Dan pada tanggal 26 Januari 1946 keluarlah maklumat Pemerintah yang mengubah Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Berdasarkan maklumat ini, dinyatakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) bersifat nasional (kebangsaan) dan sekaligus merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.(Karim, 1989: 23)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesai dalam perjalanan selanjutnya juga tidak lepas dari polarisasi orientasi politik sipil-militer, Soekarno-Hatta-Sjahrir di satu pihak yang lebih menekankan pada strategi diplomasi, dan dipihak lain Soedirman-Oerip-Soetomo dari kalangan militer bersama lasykar-lasykar yang berorientasi pada strategi perang dalam menghadapi Belanda hampir saja membawa petaka, yaitu rusaknya persatuan nasional yang belum lama dibangun. Di samping adanya polarisasi militer-sipil tersebut, dalam tubuh barisan angkatan bersenjatapun masih terdapat friksi-friksi yang timbul dari lasykar-lasykar yang belum sepenuhnya mampu keluar dari bayang-bayang ideologi induknya semula.
Guna mengatasi kemelut yang terjadi dalam tubuh militer ini maka pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah mengeluarkan dekrit untuk membentuk panitia yang diketuai oleh Presiden, dengan beranggotakan 21 orang. Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia ini menghasilkan keputusan yang dimuat dalam Penetapan Presiden. Penetapan yang dikeluarkan 7 Juni 1947 inilah yang membentuk organisasi “Tentara Nasional Indonesia”. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini terbentuk dari tiga elemen pokok yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: KNIL, PETA, dan lasykar-lasykar.

Demokrasi dan Demokratisasi
Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi setiap wacana perbincangan berbagai lapisan masyarakat baik dari lapisan masyarakat kelas bawah (grass root) hingga masyarakat kelas menengah dan atas. Dan sering sekali dikaitkan dengan berbagai persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan bidang keilmuan lainnya, seperti: “Islam dan Demokrasi”, “Ekonomi dan Demokrasi”, “Hukum dan Demokrasi”, dan lain sebagainya.
Demokrasi sebagai salah-satu corak pemerintahan, berasal dari kata demos dan cratein (bahasa Yunani) yang berarti rakyat dan kekuasaan. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Moh. Mahfud MD, menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi tertingginya. (Mahfud, 1999: 5-6)
Adapun Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi sebagai system politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya. (Masdar, 1999: 86)
Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Sebelum Perubahan, “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Setelah Perubahan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, namun dalam pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu tidak pernah dijalankan selama lebih kurang empat puluh tahun (5 Juli 1959-21 Mei 1998). Setelah kejatuhan Soeharto (Orde Baru) tuntutan untuk penyelenggaraan pemerintahan demokrasi merebak sampai kepelosok-pelosok negeri. Demokratisasi menjadi salah satu istilah yang tak dapat dipisahkan dari tuntutan penyelenggaraan pemerintahan demokrasi tersebut. Untuk itu perlu kita ketahui apa dan bagaimanakah demokrasi, demokratisasi dan pemerintahan demokratis tersebut.
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh Soekarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa “Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule of all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest) (Soekarna, 1990: 37). Yang artinya adalah “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota (rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”. (Ubaidillah, 2000: 162)
Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan: “personal right, human welfare, collective preference”. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat. (Doel, 1988: 11)
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara lanmgsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). (Mahfud, 1999: 8)
Demokrasi dalam menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka harus menjalankan prinsip-prinsip yang ada padanya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi adalah, sebagai berikut: (Sukarna, 1990: 40-42)
1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda.
2. Pemerintahan konstitusionil
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pemerintahan mayoritas
5. Pemerintahan dengan dialog
6. Pemilihan umum yang bebas
7. Partai politik lebih dari satu dan menjalankan fungsinya, yaitu:
a. Mencalonkan kandidat
b. Mmbina pendapat masyarakat
c. Menarik rakyat untuk memilih
d. Mengeritik penguasa
e. Memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam pemerintahan
f. Melakukan pendidikan politik
g. Memilih pemimpi-pemimpin politik
h. Memadukan pemikiran-pemikiran politik
i. Melakukan sosialisasi politik
j. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan
k. Mempersatukan pemerintahan
l. Mempertanggumngjawabkan pemerintahan
8. Managemen terbuka (tranfarancy):
a. Ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan
b. Mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat
c. Adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah
d. Adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah
9. Pers yang bebas
10. Pengakuan terhadap hak-hak minoritas
11. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
12. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
13. Pengawasan terhadap adminisdtrasi negara
14. Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah
15. Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari badan lain
16. Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan merit system bukan spoil system
17. Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara kompromi
18. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu, seperti:
a. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan pikiran
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan dari rasa takut
d. Kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha)
19. Konstitusi/Undang-Undang Dasar/Peraturan Perundang-undangan yang demokratis
20. Adanya persetujuan

Inu Kencana syafi’i, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2000: 166-169)
1. Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power)
2. Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election)
3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
4. Adanya kebebasan individu
5. Adanya peradilan yang bebas
6. Adanya pengakuan hak minoritas
7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum
8. Adanya pers yang bebas
9. Adanya muti partai politik
10. Adanya musyawarah
11. Adanya persetujuan parlemen
12. Adanya pemerintahan yang konstitusionil
13. Adanya ketentuan pendukung dalam system demokrasi
14. adanya pengawasan terhadap administrasi publik
15. Adanya perlindungan hak asasi manusia
16. Adanya pemerintahan yang bersih (cleant and good government)
17. Adanya persaingan keahlian (profesionalitas)
18. Adanya mekanisme politik
19. Adanya kebijakan negara yng berkeadilan
20. Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.

Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada prinsipnya hampir sama, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran dan sistematikanya.
Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua, pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat, adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyetakan pendapat tanpa ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh, kebesasan berserikat. (Ubaidillah, 2000: 169)
Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan, kebebasan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negarabaik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan penagkuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). (Ubaidillah, 2000: 165-166)
Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yamh lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.
Demokratisasi pertama kali ditiupkan di Indonesia oleh Paul Wolfowitz pada saat akan megakhiri masa jabatan duta besarnya di Indonesia pada tahun 1989.
Pasca kejatuhan Soeharto 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi, yaitu suatu masa dimana telah terjadi suatu peralihan dari rezim penguasa yang otoritarian menuju suatu tatanan pemerintahan dengan kehidupan kenegaraan yang demokratis.
Demokratisasi merupakan suatu arus transformasi global yang terjadi dalam gelombang dunia ketiga yang sulit dielakkan, yang bermula pada tahun 1974, yaitu tahun ditumbangkannya rezim diktator Portugal. Ia mendefenidsikan “gelombang demokrasi” sebagai suatu kelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu yang jumlahnya secara signifikan melebihi jumlah transisi yang terjadi sebaliknya. Gelombang pertama berlangsung lambat dan lama, yaitu hampir satu abad, mulai tahun 1823 sampai tahun 1926 dan gelombang kedua dari tahun 1943 sampai tahun 1964. Yang menarik adalah, bahwa setiap gelombang itu diakhiri oleh “gelombang balik”, yaitu jatuhnya rezim-rezim demokratik, pertama berlangsung dari tahun 1922-1942, dan kedua dari tahun 1961-1975. ( Ginting,1997,: 16-17)

Tentara Nasional Indonesia, Politik dan Demokratisasi
Pecahnya peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak pula terhadap meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta perpolitikan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya G.30S/PKI/1965 ini dua kekuasaan besar saat itu, yaitu kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur.
Kekuasaan militer (TNI-AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi serta menjaminkeselamatan presiden…” dengan berkoordinasi dalam menjalankan pelaksanaan perintah bersama panglima-panglima angkatan serta melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya .
Perjalanan politik tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan mengebiri partai-partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Partai-partai politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesifik sebagaimana pada masa orde lama, pertentangan antar faksi dalam partai politik tersebut tidak dapat terelakkan dan berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan Karya yang didukung oleh Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam menjalankan visi misi Orde Baru, serta menguasai parelemen dan pemerintahan yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan Golkar/ABG)
Runtuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru) berdampak pula terhadap kekuasaan militer (TNI) dalam bidang sipil dan pemerintahan. Tuntutan demokrasi dan demokratisasi juga melanda pemikiran para petinggi militer, dengan mengeluarkan paradigma baru ABRI (TNI) pada HUT-nya yang ke-53 pada 5 Oktober 1998 yang dilaksanakan secara bertahap. Seperti pengurangan TNI/Polri menjadi 38 orang serta adanya maklumat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk tidak melakukan penggunaan hak pilih anggotanya (prajurit) TNI dalam pemilu 2004.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa militer di Indonesia dalam masa Orde baru sudah terlalu jauh masuk dalam arena politik praktis yang seharusnya merupakan wilayah atau area pertempuran sipil. Adanya momentum reformasi turut serta mengembalikan militer ke dalam posisinya semula sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Tuntutan untuk tidak berpolitik praktis bagi militer (TNI) juga telah direspon dengan keluarnya paradigma baru TNI yang dicanangkan pada 5 Oktober 1998 dan diperkuat kembali dengan maklumat Panglima TNI Jenderal TNI. Endriartono Sutarto. Dengan semboyan “terbaik bagi rakyat, terbaik bagi TNI”. Adanya niat bak TNI tersebut hendaknya pula dapat diterjemahkan dengan baik oleh para politisi sipil untuk tidak kembali membawa dan menyeret militer (TNI) ke dalam kancah polik. Hal ini diharapkan dapat segera terwujudnya demokrasi dan demokratisasi yang salah satu unsurnya adalah adanya supremasi sipil atas militer.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Budi, A, Made budisupriatna, 1995, ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, Yogyakarta
Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, 1998, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta
Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta
Karim, Muhammad Rusli, 1989, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), CV Haji Masagung, Jakarta
Ginting, Selamat (ed), 1997, ABRI dan Demokratisasi, Mizan, Bandung
Sukarna, 1990, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Dydo, Todiruan, 1989, Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Golden Terayon Press, Jakarta
TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, 1999, Penerbit Jasa Buma, Jakarta
Masdar, Umaruddin (dkk), 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Lkis, Yogyakarta
Ubaidillah, U, 2000, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta

1 komentar:

Anonim mengatakan...

1xBet Korean Sportsbook Review - Legalbet.co.kr
바카라 Bet with choegocasino 1xBet KORAN 】 1xbet korean