Sabtu, 14 Maret 2009

SENGKETA LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

1. Lembaga-lembaga Negara yang Dapat Bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur dalam UUD 1945 adalah menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara . Namun lembaga negara mana yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar pengaturannya masih sangat kabur dan sumir. Padahal potensi konfliknya begitu besar.
Dalam hal sengketa kewenangan antar lembaga negara Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Dua lembaga di MPR dapat dijadikan sebagai percontohan, yakni DPR dan DPD. Potensi konflik antara dua lembaga itu cukup besar mengingat kewenangan antar dua lembaga itu tidak cukup berimbang. Contoh kasus yang terjadi antar dua lemabaga ini adalah pada masa transisi pemerintahan pasca pemilu 2004, DPR menyetujui pengangkatan Ketua BPK tanpa meminta pendapat DPD.
Potensi berikutnya terjadi antar DPR dan presiden di bidang legislasi, dalam hal pembentukan undang-undang. Contoh aktualnya adalah saat pemerintah menolak mengesahkan berlakunya UU tentang area Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) di Batam. DPR bersikeras bahwa undang-undang itu sudah sah. Namun pemerintah (Megawati masih menjadi presiden saat itu) mengklaim tidak memberi persetujuan saat pembahasan tingkat dua.
Muktie Fadjar mengatakan bahwa tidak jelasnya pengaturan mengenai lembaga negara mana saja yang bisa mengajukan sengketa di MK baik pada rumusan UUD 1945 maupun rumusan UUMK mengundang beberapa penafsiran. Pertama adalah penafsiran luas, yakni mencakup semua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut di UUD 1945. Kedua, penafsiran moderat yang membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara. Dan ketiga, penafsiran sempit yang hanya merujuk secara implisit dari ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Berdasar penafsiran luas, Muktie mencatat sekitar tiga belas lembaga yang nama dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945, kecuali Bank Sentral, yang kewenangannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Tapi berdasar PERMA No. 2 Tahun 2002, disebutkan Bank Sentral bisa menjadi lembaga negara yang bisa mengajukan sengketa di MK. Dari ketiga belas lembaga negara itu, Muktie berpendapat bahwa yang bisa bersengketa di MK hanya MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Lembaga negara lain seperti KPU, Komisi Yudisial, TNI dan Polri, tidak termasuk dalam lembaga yang bisa bersengketa di MK. Pasalnya, menurut Muktie, keempat lembaga itu meski mempunyai kewenangan konstitusional namun lebih bersifat teknis operasional.
Tiga lembaga lainnya juga dinilai kurang tepat dimasukkan dalam lembaga yang bisa bersengketa di MK. Ketiga lembaga tersebut adalah MK sendiri karena justru lembaga ini yang memeriksa sengketa antar lembaga negara. Mahkamah Agung juga tidak bisa bersengketa karena disebut secara tegas dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam lembaga yang bisa bersengketa. Sementara, Bank Sentral juga tidak termasuk karena kewenangannya diatur dalam undang-undang.
Adapun menurut pendapat penulis lembaga-lembaga negara yang dapat memohonkan penyelesaian sengketa kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4. Pemerintah (Presiden dan Wakil Presiden)
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6. Komisi Yudisial (KY)
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Secara umum proses berperkara di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan Permohonan
Dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, disebutkan bahwa pihak pemohon yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan wajib mengajukan permohonan dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Ditulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 29 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003).
2) Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya (Pasal 29 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
3) Diajukan dalam 12 rangkap (Pasal 29 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
4) Jenis Perkara.
5) Sistematika:
a) Identitas dan legal standing (Pasal 31 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003).
b) Posita (dalil-dalil) (Pasal 31 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003).
c) Petitum (putusan yang diminta) (Pasal 31 ayat (1) huruf c UU No. 24 Tahun 2003)).
6) Disertai bukti pendukung (Pasal 31 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
7) Menyebutkan lembaga negara yang menjadi pihak termohon (Pasal 61 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
b. Pendaftaran
1) Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera:
a. belum lengkap, diberitahukan.
b. 7 hari sejak diberitahu wajib dilengkapi.
c. harus sudah lengkap.
2) Registrasi sesuai perkara
3) 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara:
a. pengujian undang-undang:
(1) Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
(2) Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
b. sengketa kewenangan lembaga negara
Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
c. pembubaran partai politik
Salinan permohonan disampaikan kepada papol yang bersangkutan.
d. pendapat DPR
Salinan permohonan disampaikan kepada presiden.
c. Penjadwalan Sidang
Proses penjadwalan sidang oleh Mahkamah Konstitusi berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Sidang I ditetapkan dalam waktu 14 hari kerja setelah registrasi (Pasal 34 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).
2) Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak (Pasal 34 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003)
3) Diumumkan kepada masyarakat (Pasal 34 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
d. Pemeriksaan Pendahuluan
1) Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
a. kelengkapan syarat-syarat permohonan
b. kejelasan materi permohonan
2) Memberi nasehat:
a. kelengkapan syarat-syarat permohonan
b. perbaikan materi permohonan
3) 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki

e. Pemeriksaan Persidangan
1) Terbuka untuk umum
2) Memeriksa permohonan dan alat bukti
3) Para pihak hadir menghadapi siding guna memberikan keterangan
4) Lembaga negara dapat dimintai keterangan tertulis dengan tenggang waktu aksimal 7 hari sejak diminta harus sudah dipenuhi
5) Saksi dan/atau ahli memberi keterangan
6) Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain
f. Putusan
1) Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
a. untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
b. untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
(1) Presiden dan/atau Wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi
(2) DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi
c. untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
2) Sesuai alat bukti, minimal dua alat bukti, memuat:
a. fakta
b. dasar hukum putusan
3) Cara mengambil keputusan:
a. musyawarah mufakat
b. setiap hakim menyampaikan pendapat/atau pertimbangan tertulis
c. diambil suara terbanyak bila tak mufakat
d. bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan
4) Ditandatangani hakim dan panitera
5) Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
6) Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 hari sejak diucapkan
7) Untuk putusan perkara:
a. pengujian undang-undang disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan Mahkamah Agung
b. sengketa kewenangan lembaga Negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden
c. pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan
d. perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden
e. pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden