Sabtu, 14 Maret 2009

SENGKETA LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

1. Lembaga-lembaga Negara yang Dapat Bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur dalam UUD 1945 adalah menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara . Namun lembaga negara mana yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar pengaturannya masih sangat kabur dan sumir. Padahal potensi konfliknya begitu besar.
Dalam hal sengketa kewenangan antar lembaga negara Pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Dua lembaga di MPR dapat dijadikan sebagai percontohan, yakni DPR dan DPD. Potensi konflik antara dua lembaga itu cukup besar mengingat kewenangan antar dua lembaga itu tidak cukup berimbang. Contoh kasus yang terjadi antar dua lemabaga ini adalah pada masa transisi pemerintahan pasca pemilu 2004, DPR menyetujui pengangkatan Ketua BPK tanpa meminta pendapat DPD.
Potensi berikutnya terjadi antar DPR dan presiden di bidang legislasi, dalam hal pembentukan undang-undang. Contoh aktualnya adalah saat pemerintah menolak mengesahkan berlakunya UU tentang area Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) di Batam. DPR bersikeras bahwa undang-undang itu sudah sah. Namun pemerintah (Megawati masih menjadi presiden saat itu) mengklaim tidak memberi persetujuan saat pembahasan tingkat dua.
Muktie Fadjar mengatakan bahwa tidak jelasnya pengaturan mengenai lembaga negara mana saja yang bisa mengajukan sengketa di MK baik pada rumusan UUD 1945 maupun rumusan UUMK mengundang beberapa penafsiran. Pertama adalah penafsiran luas, yakni mencakup semua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut di UUD 1945. Kedua, penafsiran moderat yang membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara. Dan ketiga, penafsiran sempit yang hanya merujuk secara implisit dari ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Berdasar penafsiran luas, Muktie mencatat sekitar tiga belas lembaga yang nama dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945, kecuali Bank Sentral, yang kewenangannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Tapi berdasar PERMA No. 2 Tahun 2002, disebutkan Bank Sentral bisa menjadi lembaga negara yang bisa mengajukan sengketa di MK. Dari ketiga belas lembaga negara itu, Muktie berpendapat bahwa yang bisa bersengketa di MK hanya MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Lembaga negara lain seperti KPU, Komisi Yudisial, TNI dan Polri, tidak termasuk dalam lembaga yang bisa bersengketa di MK. Pasalnya, menurut Muktie, keempat lembaga itu meski mempunyai kewenangan konstitusional namun lebih bersifat teknis operasional.
Tiga lembaga lainnya juga dinilai kurang tepat dimasukkan dalam lembaga yang bisa bersengketa di MK. Ketiga lembaga tersebut adalah MK sendiri karena justru lembaga ini yang memeriksa sengketa antar lembaga negara. Mahkamah Agung juga tidak bisa bersengketa karena disebut secara tegas dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam lembaga yang bisa bersengketa. Sementara, Bank Sentral juga tidak termasuk karena kewenangannya diatur dalam undang-undang.
Adapun menurut pendapat penulis lembaga-lembaga negara yang dapat memohonkan penyelesaian sengketa kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4. Pemerintah (Presiden dan Wakil Presiden)
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6. Komisi Yudisial (KY)
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Secara umum proses berperkara di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan Permohonan
Dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, disebutkan bahwa pihak pemohon yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan wajib mengajukan permohonan dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Ditulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 29 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003).
2) Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya (Pasal 29 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
3) Diajukan dalam 12 rangkap (Pasal 29 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
4) Jenis Perkara.
5) Sistematika:
a) Identitas dan legal standing (Pasal 31 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003).
b) Posita (dalil-dalil) (Pasal 31 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003).
c) Petitum (putusan yang diminta) (Pasal 31 ayat (1) huruf c UU No. 24 Tahun 2003)).
6) Disertai bukti pendukung (Pasal 31 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
7) Menyebutkan lembaga negara yang menjadi pihak termohon (Pasal 61 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
b. Pendaftaran
1) Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera:
a. belum lengkap, diberitahukan.
b. 7 hari sejak diberitahu wajib dilengkapi.
c. harus sudah lengkap.
2) Registrasi sesuai perkara
3) 7 hari kerja sejak registrasi untuk perkara:
a. pengujian undang-undang:
(1) Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
(2) Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
b. sengketa kewenangan lembaga negara
Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
c. pembubaran partai politik
Salinan permohonan disampaikan kepada papol yang bersangkutan.
d. pendapat DPR
Salinan permohonan disampaikan kepada presiden.
c. Penjadwalan Sidang
Proses penjadwalan sidang oleh Mahkamah Konstitusi berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Sidang I ditetapkan dalam waktu 14 hari kerja setelah registrasi (Pasal 34 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).
2) Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak (Pasal 34 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003)
3) Diumumkan kepada masyarakat (Pasal 34 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003).
d. Pemeriksaan Pendahuluan
1) Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
a. kelengkapan syarat-syarat permohonan
b. kejelasan materi permohonan
2) Memberi nasehat:
a. kelengkapan syarat-syarat permohonan
b. perbaikan materi permohonan
3) 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki

e. Pemeriksaan Persidangan
1) Terbuka untuk umum
2) Memeriksa permohonan dan alat bukti
3) Para pihak hadir menghadapi siding guna memberikan keterangan
4) Lembaga negara dapat dimintai keterangan tertulis dengan tenggang waktu aksimal 7 hari sejak diminta harus sudah dipenuhi
5) Saksi dan/atau ahli memberi keterangan
6) Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain
f. Putusan
1) Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
a. untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
b. untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
(1) Presiden dan/atau Wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi
(2) DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi
c. untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
2) Sesuai alat bukti, minimal dua alat bukti, memuat:
a. fakta
b. dasar hukum putusan
3) Cara mengambil keputusan:
a. musyawarah mufakat
b. setiap hakim menyampaikan pendapat/atau pertimbangan tertulis
c. diambil suara terbanyak bila tak mufakat
d. bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan
4) Ditandatangani hakim dan panitera
5) Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
6) Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 hari sejak diucapkan
7) Untuk putusan perkara:
a. pengujian undang-undang disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan Mahkamah Agung
b. sengketa kewenangan lembaga Negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden
c. pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan
d. perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden
e. pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden

Rabu, 02 April 2008

KEKUASAAN PRESIDEN PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. Pendahuluan
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia baik sebelum maupun sesudah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Presiden mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara sekaligus merangkap sebagai Kepala Pemerintahan. Menyatunya kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan konsekuensi logis dari pemilihan bentuk pemerintahan republik yang bersistemkan presidensial.
Perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 sejak semula memang dirancang dalam rangka untuk mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Rangkaian perubahan, khususnya perubahan III UUD NRI Tahun 1945 tahun 2001 membawa implikasi yang sangat mendasar (fundamental) terhadap kedudukan lembaga kepresidenan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan oleh rakyat”. Artinya presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada Majelis akan tetapi bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat. Presiden dan Majelis berkedudukan sebagai lembaga negara yang sederajat sebagaimana halnya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, akan tetapi diberikan fungsi yang sama dalam rangka mewujudkan pengawasan dan penyeimbangan satu dengan lainnya dalam satu sistem (checks and balances system).

B. Pembahasan
1. Kekuasaan Presiden
Kedudukan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan posisi yang sangat strategis dan berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu tugas dan wewenang Presiden selalu dirinci secara utuh (detail) di dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Secara umum wewenang Presiden di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) mencakup bidang-bidang sebagai berikut: (Jimly, 2005: 222-224)
a. Kekuasaan Eksekutif (executive power)
Kewenangan yang bersifat eksekutif (executive power) atau menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (to govern based on the constitution). Bahkan, dalam sistem yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b. Kekuasaan Legislatif (legislative power)
Kewenangan yang bersifat legislatif (legislative power) atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulated public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) kewenangan legislasi berada di parlemen, bukan di pemerintahan. Namun jika dianggap perlu, kewenangan ini dapat dilakukan oleh eksekutif melalui derivasi perundang-undangan.
c. Kekuasaan Yudisial (judicial power)
Kewenangan yang bersifat yudisial (judicial power) dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan.
d. Kekuasaan Diplomatik (diplomatic power)
Kewenangan yang bersifat diplomatik (diplomatic power), yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Dalam hal ini kedudukan Presiden adalah sebagai pimpinan negara dan simbol kedaulatan politik negara yang berhadapan dengan negara lain.
e. Kekuasaan Administratif (administrative power)
Kewenangan yang bersifat administratif (administrative power) untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksecutif (chief of executive) maka sudah semestinya Presiden juga berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara.

Berdasarkan 5 (lima) bidang kekuasaan yang dimiliki Presiden tersebut di atas dan pemisahan peran Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam konteks sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, maka kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara yang memiliki hak-hak istimewa (prerogative power), oleh UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan sebagai berikut:
1. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (executive power). (Pasal 10)
2. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR (diplomatic power). (Pasal 11 ayat (1) dan (2))
3. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya (executive power). (Pasal 12)
4. Mengangkat duta dan konsul (diplomatic power). (Pasal 13 ayat (1) dan (2))
5. Menerima duta dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (diplomatic power). (Pasal 13 ayat (3))
6. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (judicial power). (Pasal 14 ayat (1))
7. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (judicial power). (Pasal 14 ayat (2))
8. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan (executive power). (Pasal 15)
9. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (administrative power). (Pasal 23F ayat (1))
10. Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (administrative power). (Pasal 24A ayat (3))
11. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (administrative power). (Pasal 24B ayat (3))
12. Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung (administrative power). (Pasal 24C ayat (3))

Sebagai Kepala Pemerintahan, presiden secara konstitusional juga diberikan wewenang untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (executive power). (Pasal 4 ayat (1))
2. Mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (legislative power). (Pasal 5 ayat (1))
3. Menetapkan Peraturan Pemerintah (legislative power). (Pasal 5 ayat (2))
4. Membentuk dewan pertimbangan (executive power). (Pasal 16)
5. Mengangkat dan memberhentikan para menteri (executive power). (Pasal 17 ayat (2))
6. Mengajukan 3 calon hakim konstitusi (executive power). (Pasal 24C ayat (3))

Disamping memiliki 3 (tiga) kewenangan sebagaimana telah disebutkan di atas Presiden selaku Kepala Pemerintahan juga mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan fungsi legislasi (legislative function), sebagaimana disebutkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” dan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, kekuasaan presiden hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala negara Republik Indonesia adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia.
Sebagai kepala pemerintahan, kekuasaan presiden di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif (executive power) dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar) dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini sangat besar dan harus mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Dalam menjalankan tugas wewenangnya sebagai kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet, yang memegang kekuasaan eksekutif dalam bidangnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.

2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dilandasi semangat dan pemikiran penguatan prinsip kedaulatan rakyat dalam konstitusi, berdampak pula terhadap gagasan reformasi sistem pemilihan presiden dan wakil presiden. Kaidah-kaidah pokok yang diatur oleh UUD NRI Tahun 1945 mengenai sistem dan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat Pencalonan
Pencalonan residen dan Wakil Presiden secara umum diatur berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. warganegara Indonesia;
b. tidak pernah mengkhianati negara;
c. mampu secara rohani dan jasmani.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana disebut di atas masih sangat umum dan tidak mencukupi untuk menyaring calon Presiden dan Wakil Presiden yang kredibel (credibility) dan akuntabel (accountability). Karena itu, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanat pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003, disebutkan bahwa calon Presiden dan wakil Presiden harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
3. tidak pernah mengkhianati negara;
4. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugad dan kewajiban sebagai presiden dan Wakil Presiden;
5. bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
6. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
7. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara;
8. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
9. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
11. terdaftar sebaagi pemilih;
12. memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi;
13. memiliki daftar riwayat hidup;
14. belum pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
15. setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
16. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana makar berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat;
17. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;
18. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat;
19. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
20. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Poin 19 dari syarat calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diuraikan di atas yang diatur pada ketentuan huruf s Pasal 6 Nomor 20 Tahun 2003 tersebut ini telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor ....Tahun ..... tanggal

b. Mekanisme Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelumnya. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam pimilihan umum Presiden dan Wakil Presiden didapat suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) disetiap propinsi yang tersebar dilebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden mengikuti pemilihan umum putaran kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum putaran kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

2. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, apabila Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR), Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota.
Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permintaan diterima. Jika terbukti, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima. Keputusan diambil dalam sidang paripurna, dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga per empat) jumlah anggota, disetujui sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) jumlah yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Apabila usul pemberhentian presiden diterima Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan.

3. Penggantian dan Pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang Lowong
Tiada keabadian di dunia, demikian mungkin yang dapat disematkan untuk memberikan jawaban atas setiap keterbatasan yang ada. Islam, melalui Al-Qur’an (Q.S. Al-Anbiya’ : 35) juga tegas menyatakan, ”Kullu nafsin dzaiqatul maut” setiap yang bernyawa pasti akan mati. Dapat diartikan pula secara umum bahwa setiap ciptaan pasti akan musnah.
Dalam konteks bernegara misalnya, antisifasi atas ketidakmampuan untuk melihat masa depan tersebut diatur dalam mekanisme penggantian dalam masa jabatan sementara ataupun tetap, baik karena berhenti atau karena diberhentikan.
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 berdasarkan ketentuan Pasal 8 memberikan klasifikasi dan mekanisme penggantian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Presiden Berhenti, diberhentikan, atau tidak Mampu menjalankan Tugas
Pengaturan mengenai hal Presiden berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil presiden sampai habis masa jabatannya, diatur pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, ”Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.

b. Pemilihan Wakil Presiden yang Lowong
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden mengajukan 2 (dua) calon Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selambat-lambatnya, dalam waktu 60 (enam puluh) hari Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih Wakil Presiden. Hal ini merupakan konsekuensi Pasal 8 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden”

c. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang Lowong
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden keduanya berhalangan tetap secara bersamaan, maka pelaksanaan tugas kepresidenan dijalankan secara bersama-sama oleh triumpirat, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan. Tahapan berikutnya adalah dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh partai politik (atau gabungan partai politik) yang pasangan Calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.

C. Penutup
Sebagaimana alasan dan kesepakatan dasar perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang salah-satunya adalah untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara prinsipil telah mengarah pada penguatan, namun dalam beberapa hal wewenang presiden tersebut masih dapat ditemukan pengaruh dari lembaga-lembaga negara lainnya, khususnya pengaruh dari lembaga parlemen (DPR).


Daftar Pustaka
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2005
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Jumat, 28 Maret 2008

HUBUNGAN TEORI DAN KENEGARAAN

Teori (theory) dalam suatu ilmu pengetahuan merupakan dasar pijakan yang mesti dipahami oleh setiap ilmuwan. Benjamin B. Wolman dalam The Psycoanalytic Interpretion of history menyatakkan bahwa “A theory is a set of hypothetical proposition that bind the empirical data in a causal, teleological, or any others interpretative system, (teori adalah sekumpulan dugaan (hipotesis) gagasan yang berasal dari data empiris yang tetap dalam suatu sebab-akibat, yang mengarah pada suatu tujuan (teleologis), atau hal-hal lain dari sistem penafsiran).
Kajian terhadap teori menjadi sangat penting dilakukan untuk menjawab permasalahan yang terjadi dalam kehidupan, baik lingkup kecil ataupun besar yang muncul karena adanya kepentingan, baik kepentingan yang sama, terlebih lagi kepentingan yang berbeda. Walau tidak setiap saat teori mampu menjawab setiap permasalahan yang muncul.
Praktek ketatanegaraan merupakan bagian dari kehidupan tersebut, menjadi sangat menarik untuk dikaji karena praktek ketatanegaraan melibatkan masyarakat besar dan kepentingan (interest) yang beragam, yang diwakili oleh individu-individu bebas, gabungan dari individu bebas yang tidak terorganisasi, atau oleh gabungan individu bebas yang terorganisasi dalam inprastruktur politik atau suprastruktur politik, baik yang bersifat kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) atau kelompok-kelompok penekan (pressure groups) yang terwadahi dalam organisasi politik (orpol), organisasi massa (ormas), atau organisasi-organisasi lainnya.

A. Arti Penting Teori
Teori sebagai suatu kajian dalam lingkup ilmu pengatahuan kontemporer (modern), menduduki peran dan posisi yang sangat strategis. Dalam banyak hal teori seringkali dipersamakan maknanya dengan filsafat atau sebagai salah-satu cabang filsafat yang disebut dengan filsafat pengetahuan (theory of knowledge, erkennistlehre, kennesleer atau epistemology). Perkembangan berikutnya adalah filsafat pengetahuan ini (theory) berkembang menjadi filsafat ilmu (philosophy of science, wissenchaflehre, atau wetenschapleer).
Secara umum, baik filsafat pengetahuan (theory of knowledge) maupun filsafat ilmu (philosophy of science) berpangkal dan berujung pada penggunaan logika (pemikiran) dan epistimologi, yang meliputi sumber, struktur, sarana, metode dan tatacara (mekanisme) menggunakan sarana untuk mencapai pengetahuan ilmiah (science) dengan ciri pokok pertanyaan pada apa dan bertujuan pada kelurusan berpikir.
Atas dasar pemikiran sebagaimana disebut di atas, maka arti pentingnya teori adalah memberikan orientasi pada kejelasan dan kejernihan pemahaman yang bersifat kognitif, dengan perincian sebagai berikut:
1. membentuk pemahaman terhadap arti (essence) dari sesuatu kajian atau permasalahan;
2. penjernihan terhadap batasan-batasan dari suatu permasalahan yang dibahas;
3. membantu menyediakan dugaan awal (hypothesis) terhadap kemungkinan-kemungkinan masa depan;
4. membantu menemukan, identifikasi dan menginventarisasi permasalahan serta mengelompokkannya (klasifikasi) berdasarkan tingkat kesulitan yang ada; dan
5. alat atau sarana (tool) bagi pemecahan masalah (problem solving) yang ditemukan.

B. Teori dan Kenegaraan
Sebagaimana halnya dengan bidang-bidang kajian lainnya, teori dalam sistem, bangunan (struktur), dan praktek kenegaraan pada umumnya dan di Indonesia khususnya memiliki peran yang sangat penting. Beberapa peran penting fungsi teori dalam praktek kenegaraan adalah sebagai berikut:
1. membantu menemukan (to look for), mengidentifikasi (to identified), dan memecahkan (to solve) masalah-masalah. Dalam praktek kenegaraan misalnya, penggunaan teori dapat membantu kejelasan hubungan atau relasi tata kerja antar lembaga-lembaga negara (staatsorganen atau political institution) yang ada berdasarkan struktur dan fungsinya.
2. membantu penyajian kategori-kategori, klasifikasi, atau prioritasi (priority) dalam mengorganisasi kekuasaan pemerintahan negara. Prioritasi dalam pengorganisasian kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas penggunaan ilmu pengetahuan (theory) akan memudahkan percepatan perwujudan tujuan nasional (negara).
3. membantu menyediakan sangkaan awal atau patokan duga (hypothesis) terhadap peluang, ancaman, hambatan, dan tantangan yang akan dihadapi dari macam-macam pilihan terhadap sistem ketatanegaraan yang dijadikan pilihan (option).
4. membantu merumuskan atau memformulasikan (to formulated) bentuk atau ukuran-ukuran (standardisasi) guna dijadikan sebagai dasar bagi perwujudan cita-cita negara. Dalam konteks keIndonesiaan misalnya, pengimplementasian atau perwujudan dari 4 (empat) tujuan negara yang terdapat pada Alinea IV UUD 1945.

Selasa, 25 Maret 2008

MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA:

I. PENDAHULUAN
Dalam dekade beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak digulirkannya reformasi tahun 1998 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 perbincangan mengenai peran militer (TNI) khususnya peran Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) semakin banyak diperbincangkan serta melahirkan banyak istilah mengenai peran TNI, Back to Basics, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, Kembali ke barak adalah sebagian dari banyak istilah yang muncul tersebut.
Menghangatnya perbincangan back to basics ini terjadi lebih-lebih setahun setelah berlangsungnya pemilu 1992, ketika para wakil rakyat sedang bersidang untuk memilih presiden untuk periode berikutnya dan menjelang pemilihan ketua umum Golkar saat itu. (Santoso, 1995: 140)
Peran dan posisi militer (TNI) dalam percaturan dan sistem politik Indonesia adalah sejarah panjang bangsa ini. Tentara dalam sejarah kelahirannya berperan aktif dalam kehidupan politik bangsa dan merupakan salah satu kekuatan dalam perjuangan bangsa.
Dalam periode pra kemerdekaan, peran politik tentara diwujudkan melalui kegiatan politik para laskar pejuang, yang karena kesadarannya mengangkat senjata berupaya untuk mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia. Pada periode berikutnya, peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Di awal tahun 1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik bangsa Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai. Kondisi kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan, pemerintahan jatuh-bangun dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena masing-masing partai lebih cenderung memperjuangkan kepentingan ideologi partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh.
Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik ini dikukuhkan secara formal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11 November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6)
Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an. Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA).
Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reformasi 1998) terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil.
Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden. Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam fungsi keamanan ataupun karena tidak dapat dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat “analitik” dan “prosfektif” ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshif yang memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23)
Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis dengan ikut serta dalam pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil (civil society)?

II. MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
Lahirnya Tentara Nasional Indonesia
Membicarakan kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bis lepas dari perkembangan militer dimasa pemerintahan Jepang. Kelahiran Tentara Nasional Indonesia tidak bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia atau Proklamasi 17 Agustus 1945. (Karim, 1989: 21)
Dalam catatan sejarah menunjukkan bahwa model gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelum tahun 1940-an, lebih banyak menempuh jalan diplomasi dengan tekanan-tekanan intelektual guna membentuk opini massa, daripada jalan kekerasan dan peperangan. Namun semenjak memasuki tahun 1940-an telah muncul generasi-genaerasi yang tidak sabar terhadap cara perjuangan generasi tua yang masuk dalam generasi kebangsaan tersebut. Mereka telah menemukan caranya sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan tidak mungkin hanya melalui jalan berunding dengan pengajuan petisi, tanpa diikuti oleh tekanan aksi fisik (tindakan militer).
Ketidak sabaran generasi muda tersebut telah mendorong terjadinya revolusi. Jalan pintas yang radikal telah membuahkan cara berpikir yang pragmatis, melakukan aksi perang. Dalam peristiwa tersebut telah melahirkan anak-anak revolusi dan dampaknya telah berhasil mendorong secara cepat terealisasikannya konsep-konsep menuju kemerdekaan yang telah dipupuk sejak pergerakan kebangsaan. (Dydo, , 1989: 26-27)
Sebelum lahirnya Tentara nasional Indonesia, di negara kita dikenal adanya Heiho dan PETA. Banyak Putera Indonesia yang memasuki Heiho dan PETA ini. Pembentukn dua organisasi butan tenta Jepang ini sudah barang tentu dilatar belakangi oleh maksud-maksud penjajahan Jepang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di negara kita. Di samping itu dikenal pula KNIL, tentara Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan merupakan suatu organisasi militer resin, melainkam bersifat kerakyatan. (Karim, 1989: 21)
Tidak adanya kesatuan tentara (Angkatan Perang) permanen yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia sejak diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, menimbulkan keheranan dan tanda tanya besar oleh beberapa pimpinan pejuang yang bergerak dalam bidang ketentaraan. Oerip Soemohardjo, seorang pensiunan Mayor KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger), mengatakan “Aneh, suatu negara zonder Tentara” (Dydo, 1989: 26)
Mengingat eksistensi kemerdekaan yang semakin hari semakin terancam dengan adanya usaha-usaha kaum pejajah untuk kembali ke Indonesia, dan Marsekal Terauchi diperintahkan oleh Mac Arthur untuk meampertahankan status quo di daerah pendudukannya serta mendaratnya Tentara Inggris di Jakarta pada tanggal 16 September 1945 yang dipimpin oleh Lord Louis Mounbatten yang mendesak jepang untuk mempertahankan status quo telah pula membuat anggota Badan Keamanan rakyat (BKR) semakin berani berhadapan dengan tentara Jepang. Dan semakin bertambah panas setelah datangnya pasukan tambahan tentara Inggris pada tanggal 29 September 1945 di bawsah pimpinan Sir Philip Christison.
Adanya kenyataan yang demikian itu membuat para pemimpin pemerintahan kita saat itu menyadari betapa pentingnya sebuah angkatan perang (tentara) dalam mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Stafnya, dan sehari setelah itu pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat yang mengangkat Suprijadi sebagai menteri Keamanan Rakyat.
Setelah lahirnya TKR, maka BKR, PETA, KNIL, Heiho, dan lasykar-lasykar lainnya, oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dikeluarkan perintah mobilisasi TKR, yaitu dengan menyatukan lembaga-lembaga yang telah ada selama ini di bawsah panji TKR.
Atas prakarsa Markas tertinggi TKR pada tanggal 1 Januari 1946, dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah No. 3/SD. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat” dan Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi “Kementerian Pertahanan”. Dan pada tanggal 26 Januari 1946 keluarlah maklumat Pemerintah yang mengubah Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Berdasarkan maklumat ini, dinyatakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) bersifat nasional (kebangsaan) dan sekaligus merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.(Karim, 1989: 23)
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesai dalam perjalanan selanjutnya juga tidak lepas dari polarisasi orientasi politik sipil-militer, Soekarno-Hatta-Sjahrir di satu pihak yang lebih menekankan pada strategi diplomasi, dan dipihak lain Soedirman-Oerip-Soetomo dari kalangan militer bersama lasykar-lasykar yang berorientasi pada strategi perang dalam menghadapi Belanda hampir saja membawa petaka, yaitu rusaknya persatuan nasional yang belum lama dibangun. Di samping adanya polarisasi militer-sipil tersebut, dalam tubuh barisan angkatan bersenjatapun masih terdapat friksi-friksi yang timbul dari lasykar-lasykar yang belum sepenuhnya mampu keluar dari bayang-bayang ideologi induknya semula.
Guna mengatasi kemelut yang terjadi dalam tubuh militer ini maka pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah mengeluarkan dekrit untuk membentuk panitia yang diketuai oleh Presiden, dengan beranggotakan 21 orang. Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia ini menghasilkan keputusan yang dimuat dalam Penetapan Presiden. Penetapan yang dikeluarkan 7 Juni 1947 inilah yang membentuk organisasi “Tentara Nasional Indonesia”. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini terbentuk dari tiga elemen pokok yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: KNIL, PETA, dan lasykar-lasykar.

Demokrasi dan Demokratisasi
Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi setiap wacana perbincangan berbagai lapisan masyarakat baik dari lapisan masyarakat kelas bawah (grass root) hingga masyarakat kelas menengah dan atas. Dan sering sekali dikaitkan dengan berbagai persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan bidang keilmuan lainnya, seperti: “Islam dan Demokrasi”, “Ekonomi dan Demokrasi”, “Hukum dan Demokrasi”, dan lain sebagainya.
Demokrasi sebagai salah-satu corak pemerintahan, berasal dari kata demos dan cratein (bahasa Yunani) yang berarti rakyat dan kekuasaan. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Moh. Mahfud MD, menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi tertingginya. (Mahfud, 1999: 5-6)
Adapun Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi sebagai system politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya. (Masdar, 1999: 86)
Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Sebelum Perubahan, “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Setelah Perubahan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, namun dalam pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu tidak pernah dijalankan selama lebih kurang empat puluh tahun (5 Juli 1959-21 Mei 1998). Setelah kejatuhan Soeharto (Orde Baru) tuntutan untuk penyelenggaraan pemerintahan demokrasi merebak sampai kepelosok-pelosok negeri. Demokratisasi menjadi salah satu istilah yang tak dapat dipisahkan dari tuntutan penyelenggaraan pemerintahan demokrasi tersebut. Untuk itu perlu kita ketahui apa dan bagaimanakah demokrasi, demokratisasi dan pemerintahan demokratis tersebut.
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh Soekarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa “Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule of all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest) (Soekarna, 1990: 37). Yang artinya adalah “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota (rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”. (Ubaidillah, 2000: 162)
Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan: “personal right, human welfare, collective preference”. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat. (Doel, 1988: 11)
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara lanmgsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). (Mahfud, 1999: 8)
Demokrasi dalam menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka harus menjalankan prinsip-prinsip yang ada padanya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi adalah, sebagai berikut: (Sukarna, 1990: 40-42)
1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda.
2. Pemerintahan konstitusionil
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pemerintahan mayoritas
5. Pemerintahan dengan dialog
6. Pemilihan umum yang bebas
7. Partai politik lebih dari satu dan menjalankan fungsinya, yaitu:
a. Mencalonkan kandidat
b. Mmbina pendapat masyarakat
c. Menarik rakyat untuk memilih
d. Mengeritik penguasa
e. Memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam pemerintahan
f. Melakukan pendidikan politik
g. Memilih pemimpi-pemimpin politik
h. Memadukan pemikiran-pemikiran politik
i. Melakukan sosialisasi politik
j. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan
k. Mempersatukan pemerintahan
l. Mempertanggumngjawabkan pemerintahan
8. Managemen terbuka (tranfarancy):
a. Ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan
b. Mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat
c. Adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah
d. Adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah
9. Pers yang bebas
10. Pengakuan terhadap hak-hak minoritas
11. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
12. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
13. Pengawasan terhadap adminisdtrasi negara
14. Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah
15. Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari badan lain
16. Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan merit system bukan spoil system
17. Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara kompromi
18. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu, seperti:
a. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan pikiran
b. Kebebasan beragama
c. Kebebasan dari rasa takut
d. Kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha)
19. Konstitusi/Undang-Undang Dasar/Peraturan Perundang-undangan yang demokratis
20. Adanya persetujuan

Inu Kencana syafi’i, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2000: 166-169)
1. Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power)
2. Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election)
3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
4. Adanya kebebasan individu
5. Adanya peradilan yang bebas
6. Adanya pengakuan hak minoritas
7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum
8. Adanya pers yang bebas
9. Adanya muti partai politik
10. Adanya musyawarah
11. Adanya persetujuan parlemen
12. Adanya pemerintahan yang konstitusionil
13. Adanya ketentuan pendukung dalam system demokrasi
14. adanya pengawasan terhadap administrasi publik
15. Adanya perlindungan hak asasi manusia
16. Adanya pemerintahan yang bersih (cleant and good government)
17. Adanya persaingan keahlian (profesionalitas)
18. Adanya mekanisme politik
19. Adanya kebijakan negara yng berkeadilan
20. Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.

Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada prinsipnya hampir sama, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran dan sistematikanya.
Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua, pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat, adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyetakan pendapat tanpa ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh, kebesasan berserikat. (Ubaidillah, 2000: 169)
Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan, kebebasan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negarabaik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan penagkuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). (Ubaidillah, 2000: 165-166)
Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yamh lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.
Demokratisasi pertama kali ditiupkan di Indonesia oleh Paul Wolfowitz pada saat akan megakhiri masa jabatan duta besarnya di Indonesia pada tahun 1989.
Pasca kejatuhan Soeharto 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi, yaitu suatu masa dimana telah terjadi suatu peralihan dari rezim penguasa yang otoritarian menuju suatu tatanan pemerintahan dengan kehidupan kenegaraan yang demokratis.
Demokratisasi merupakan suatu arus transformasi global yang terjadi dalam gelombang dunia ketiga yang sulit dielakkan, yang bermula pada tahun 1974, yaitu tahun ditumbangkannya rezim diktator Portugal. Ia mendefenidsikan “gelombang demokrasi” sebagai suatu kelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu yang jumlahnya secara signifikan melebihi jumlah transisi yang terjadi sebaliknya. Gelombang pertama berlangsung lambat dan lama, yaitu hampir satu abad, mulai tahun 1823 sampai tahun 1926 dan gelombang kedua dari tahun 1943 sampai tahun 1964. Yang menarik adalah, bahwa setiap gelombang itu diakhiri oleh “gelombang balik”, yaitu jatuhnya rezim-rezim demokratik, pertama berlangsung dari tahun 1922-1942, dan kedua dari tahun 1961-1975. ( Ginting,1997,: 16-17)

Tentara Nasional Indonesia, Politik dan Demokratisasi
Pecahnya peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak pula terhadap meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta perpolitikan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya G.30S/PKI/1965 ini dua kekuasaan besar saat itu, yaitu kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur.
Kekuasaan militer (TNI-AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi serta menjaminkeselamatan presiden…” dengan berkoordinasi dalam menjalankan pelaksanaan perintah bersama panglima-panglima angkatan serta melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya .
Perjalanan politik tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan mengebiri partai-partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Partai-partai politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesifik sebagaimana pada masa orde lama, pertentangan antar faksi dalam partai politik tersebut tidak dapat terelakkan dan berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan Karya yang didukung oleh Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam menjalankan visi misi Orde Baru, serta menguasai parelemen dan pemerintahan yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan Golkar/ABG)
Runtuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru) berdampak pula terhadap kekuasaan militer (TNI) dalam bidang sipil dan pemerintahan. Tuntutan demokrasi dan demokratisasi juga melanda pemikiran para petinggi militer, dengan mengeluarkan paradigma baru ABRI (TNI) pada HUT-nya yang ke-53 pada 5 Oktober 1998 yang dilaksanakan secara bertahap. Seperti pengurangan TNI/Polri menjadi 38 orang serta adanya maklumat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk tidak melakukan penggunaan hak pilih anggotanya (prajurit) TNI dalam pemilu 2004.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa militer di Indonesia dalam masa Orde baru sudah terlalu jauh masuk dalam arena politik praktis yang seharusnya merupakan wilayah atau area pertempuran sipil. Adanya momentum reformasi turut serta mengembalikan militer ke dalam posisinya semula sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Tuntutan untuk tidak berpolitik praktis bagi militer (TNI) juga telah direspon dengan keluarnya paradigma baru TNI yang dicanangkan pada 5 Oktober 1998 dan diperkuat kembali dengan maklumat Panglima TNI Jenderal TNI. Endriartono Sutarto. Dengan semboyan “terbaik bagi rakyat, terbaik bagi TNI”. Adanya niat bak TNI tersebut hendaknya pula dapat diterjemahkan dengan baik oleh para politisi sipil untuk tidak kembali membawa dan menyeret militer (TNI) ke dalam kancah polik. Hal ini diharapkan dapat segera terwujudnya demokrasi dan demokratisasi yang salah satu unsurnya adalah adanya supremasi sipil atas militer.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Budi, A, Made budisupriatna, 1995, ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, Yogyakarta
Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, 1998, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta
Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta
Karim, Muhammad Rusli, 1989, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), CV Haji Masagung, Jakarta
Ginting, Selamat (ed), 1997, ABRI dan Demokratisasi, Mizan, Bandung
Sukarna, 1990, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Dydo, Todiruan, 1989, Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Golden Terayon Press, Jakarta
TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, 1999, Penerbit Jasa Buma, Jakarta
Masdar, Umaruddin (dkk), 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Lkis, Yogyakarta
Ubaidillah, U, 2000, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta

Senin, 24 Maret 2008

HAKEKAT HUKUM DAN KEADILAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM

A. PENDAHULUAN
Hukum dan keadilan adalah dua makna yang saling berhubungan, adanya hukum adalah dalam rangka menuju kepada keadilan dan esensi dari keadilan itu merupakan dari cita-cita hukum. Sehingga antara hukum dan keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, walaupun dalam kenyataannya tujuan hukum belum tentu keadilan.
Agama dan filsafat adalah dua bidang kajian yang sangat berbeda dasar pijakannya. Tetapi keduanya bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai hubungan. Demikian juga halnya bila dihubungkan antara filsafat, hukum, dan keadilan dengan agama Islam.
Agama mempunyai pijakan kepercayaan dan ketertundukan seutuhnya yang didasarkan pada keyakinan atas kebenaran apa yang dipercayai itu dan benar serta wajarnya tempat kepercayaan itu menurut pikiran yang waras. Kepercayaan yang berdasarkan keyakinan (wahyu) itu bertempat di dalam kalbu (hati atau dada) seseorang. Kepercayaan yang demikian tidak dapat tercapai dengan sempurna dan lengkap dengan syarat-syaratnya kalau tidak bersandarkan pikiran yang sehat. Tidak ada kepercayaan yang kekal kalau tidak berdasarkan akal pikiran. Demikian pula halnya dengan filsafat.
Descartes, seorang tokoh besar yang menjadi pelopor pembaharuan dalam abad XVII, menyatakan bahwa yang menjadi dasar dan jiwa filsafatnya adalah prinsip yang asasi; “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, jadi aku ada” . Di sini terlihat bahwa filsafat bertitik tolak kepada suatu kebenaran yang fundamental. Kebenaran fundamental adalah rumusan dari pengalaman yang fundamental, pengalaman yang asasi. Maine de Biran, seorang filosof Prancis menyebut pengalaman itu dengan istilah; fait primitif, atau peristiwa yang pertama. Dan oleh Louis Lavelle, juga seorang pemikir Prancis menyebutnya dengan; experience initiale, pengalam yang merupakan permulaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah karena kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu.
Agama dan filsafat mempunyai suatu persamaan, yaitu diberikannya tempat bagi manusia untuk berpikir. Perintah berpikir dan untuk mempelajari sesuatu dengan akal sangat banyak kita jumpai di dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti:
“Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal-budi” (Al-Qur’an, S. Al-Hasyr: 2)
Ini adalah perintah tertulis (nash) untuk wajibnya mempergunakan pemikiran rasional, atau sekaligus rasional dan syar’i.
“Dan langit ditinggikan Tuhan dengan meletakkan timbangan keadilan. Sebab itu, janganlah kamu mengkhianati timbangan. Dirikanlah timbangan keadilan, jangan mengurangi timbangan. Dan bumi disediakan Tuhan bagi manusia (untuk menjalankan keadilan itu)”. (Al-Qur’an, S, 55: 7-10)

“Dan Janganlah sekali-kali kebencian-mu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. Berlakulah dengan adil, karena adil itu lebih dekat kepada sifat taqwa” (Al-Qur’an, S, Al-maidah: 8)
“Sesungguhnya Tuhan memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan(ihsan) serta memberi pertolongan kepada seluruh kerabat keluarga. Melarang segala kekejian, kemungkaran dan penganiayaan. Tuhan mengajari kamu, agar kamu mengingat” (Al-Qur’an, S, 16: 90)

“Hai orang-orang yang beriman! Berdirilah dengan lurus memegang keadilan, menjadi saksi karena Tuhan, sekalipun (menyusahkan) terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan keluargamu. Jika ia (terdakwa) kaya atau miskin, maka Tuhan lebih utama dengan keduanya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sendiri, sehingga berlaku tidak adil. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Tuhan maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (Al-Qur’an, S, 4: 135). Serta seterusnya dan banyak lagi ayat-ayat yang lain.

B. Sumber Dan Tujuan Hukum Islam
1. Sumber Hukum Islam
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril AS yang bertujuan untuk kemaskahatan seluruh ummat manusia.
b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan tingkah laku Rasululhah SAW untuk menyempurnakan apa yang kurang jelas, untuk menghilangkan keraguan dalam soal yang samar dan memberi pimpinan dalam mengartikan agama yang selalu didasarkan pada Al-qur’an

2. Ciri-ciri dan Tujuan Hukum Islam
a. Ciri-ciri Hukum Islam
Setiap sistem hukum yang ada selalu mempunyai ciri-ciri tersendiri, demikian pula halnya dengan hukum Islam. Sebagian besar para pemikir hukum Islam menyebutkan, bahwa ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut;
1) Universal
Bercirikan universal artinya, Agama Islam bersifat universal (‘alamy) mencakup semua manusia di dunia ini, yang tidak dibatasi oleh lautan maupun daratan atau wilayah teritorial suatu negara.
“Dan tidaklah Aku (Allah) mengutusmu wahai Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam” (Al-Qur’an, S, : )
2) Kemanusiaan (humanism)
Bercirikan kemanusiaan artinya, bahwa hukum Islam mensyari’atkan wajibnya tolong menolong, zakat, infaq, dan shadaqah, merupakan sebagian kecil dari dari contoh humanisme dalam Islam.
3) Moral (akhlaq)
Moral dan akhlaq sangat penting dalam pergaulan hidup manusia di dunia. Dan Nabi Muhammad diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq.
“Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq” (Al-Hadits)
b. Tujuan Hukum Islam
1) Memelihara Kemaslahatan Agama
Memelihara kemaslahatan agama, maksudnya adalah bahwa agama (Islam) harus terpelihara daripada ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, yang hendak merusak akidahnya, ibadah, dan akhlaqnya. Atau yang akan mencampur-adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang bathil. Agama Islam memberikan perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan untuk melaksanakan ibadan menurut agama yang dianutnya.
2) Memelihara Jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishash (pembalasan yang setimpal dan seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, akan berpikir dengan seksama karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka pembunuh juga akan dikenakan pembalasan yang setimpal, yaitu akan diberi sanksi hukuman mati, atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka sipelaku akan dicederai pula.
3) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah yang telah diberi bentuk yang paling baik dalam bentuk fisik dan diberikan pula kepadanya akal, yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lainnya. Karena itu harus dijaga dan dipelihara.
4) Memelihara Keturunan
Manusia sebagai khalifah Tuhan (Allah) ditakdirkan untuk mati dan untuk tidak hidup selama-lamanya (abadi). Karena itu manusia dituntut unttuk meninggalkan keturunan (generasi) yang baik. Hukum Islam mengajarkan agar manusia dalam mendapatkan dan meninggalkan generasi yang baik tersebut dengan melalui lembaga perkawinan (pernikahan) serta dilakukan menurut cara-cara yang benar dan sah.
5) Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Dalam tujuan ini, Islam mengajarkan adanya jual beli dan mengharamkan riba. Dalam hal menjaga kehormatan, Islam mengajarkan untuk tidak saling menghina dan mengejek antar kaum.

C. Hukum Dan Keadilan
1. Hakikat Hukum
Apabila kita mencari pengertian tentang apakah hukum itu, maka kiita tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sempurna bagi pertanyaan itu. Akan tetapi tidak berarti bahwa kita tidak mengetahui apakah arti hukum itu. Immanuel Kant pernah mengucapkan suatu perkataan, “Noch suchen die juristen eine defenition zu ihrem begriffe von recht (para yuris masih mencari suatu dfenisi bagi pengertian mereka tentang hukum). Apakah sama sekali mustahil membuat suatu defenisi tentang hukum, yakni suatu perumusan yang pendek dan substansial tentang tentang makna hukum? Van Apeldoorn menulis, bahwa tidak mungkin memberikan defenisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan.
Oxford English Dictionary memberikan defenisi tentang hukum, adalah “kumpulan aturan-aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu mengaku terikatsebagai anggota atau sebagai subjeknya”. Sedangkan menurut Hooker, istilah hukum berlaku bagi setiap aturan atau norma dimana perbuatan-perbuatan terpola. Black Stone mengatakan bahwa hukum dalam pengertiannya yang paling umum dan komprehensip berarti suatu aturan bertindak, dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada segala macam perbuatan baik yang bernyawa ataupun tidak, rasional maupun irrasional
2. Pengertian Keadilan
Keadilan merupakan tujuan akhir dari hukum dan merupakan tujuan tertinggi dari pembahasan Filsafat hukum. Cita-cita keadilan merupakan cita-cita hukum yang sudah sangat tua, dan mendapat tempat utama dalam pembahasan para pemikir-pemikir hukum.
Plato dalan buku Republikanya, mengatakan bahwa keadilan mengandung arti hubungan harmonis dengan berbagai bagian organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisinya dan melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan sifat alamiahnya. Sedangkan Aristoteles mengkaji keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya, keadilan itu mempunyai suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang ada di dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.
Sesuai dengan fungsi ganda keadilan itu, Aristoteles membagi keadilan tersebut ke dalam dua bentuk keadilan, yaitu; keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan yang pertama ditentukan oleh pembuat undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proforsional. Sedangkan keadilan yang kedua, menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan meng-establish-kan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi kepadanya atas miliknya yang hilang.

3. Hukum dan Keadilan Menurut Islam
a. Hukum Menurut Islam
Menurut teori klasik, hukum Islam atau syari’ah adalah perintah Tuhan (Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol masyarakat Islam dan tidak dikontrol olehnya.
Dalam Agama Islam ada dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi hukum Islam, yaitu: Syari’ah (syara’) dan Fiqih. Syari’at adalah adalah hukum-hukum yang telah jelas nash-nya atau qath’i; sedangkan fiqih adalah hukum-hukum yang dzanni atau debatable, yang dapat dimasuki pikiran manusia (ijtihadi). Syari’at merupakan kalam nafsi azali yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maksud dan tujuannya. Diturunkan kalam lafzi berupa Al-Qur’an untuk manusia. Yang membuat syari’at adalah Allah sendiri, Syari’ dari syari’at itu adalah Allah. Rasulullah SAW, dalam tuntunannya sebelum risalah berlangsung tetap berpedoman kepada wahyu Ilahi. Karena itu, apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah murni syari’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah SWT. Karena itu pula, sumber pokok syari’at untuk orang Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits) Nabi.
Syari’at tidak mungkin diketahui oleh manusia tanpa adanya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun itupun juga belum cukup, lalu Allah memberi manusia akal pikiran untuk pemahaman segala sesuatu dalam hidup di dunia. Akal pikiran itu pulalah yang harus digunakan manusia untuk memahami hukum-hukum syari’at dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Apa yang dihasilkan manusia itu bukan lagi syari’at melainkan fiqih, karena telah bercampur dengan akal pikiran manusia atau pemahaman manusia yang bersandarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu kita sering mendengar dan menyebutnya dengan “fiqih Syafi’i”, “fiqih Hanafi” dan lain-lain itu adalah hasil ijtihad, hasil karya akal pikiran mereka dalam mengeluarkan hukum dari sumber pokok Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
b. Hakekat Keadilan
Dalam Islam, keadilan memiliki pengertian tersendiri. Ia sama dengan keyakinan suci, suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan jujur. Ini untuk mengindentifikasikan kepentingan-kepentingan seseorang dengan orang lain dan melaksanakan keyakinan itu dengan segala kesungguhan seolah-olah merupakan ketaqwaan. Tidak boleh ada unsur subyektif dalam defenisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap berpikir yang reflektif dan pendekatan yang objektif terhadap masalah yang dihadapi. Karena itu, keadilan adalah kualitas berlaku adil secara moral dan rahmat dalam memberikan kepada setiap manusia akan haknya.
Menurut Razi dan penafsir Al-Qur’an lainnya, kata “amanah”, dalam bentuk jama’ terdiri atas segala bentuk amanah yang harus dilaksanakan oleh seseorang, dimana yang paling utama adalah “keadilan”. Keadilan merupakan pengertian yang luas dan mungkin mencakup semua kebaikan, tetapi agama meminta sesuatu lebih ramah dan lebih manusiawi. “Sesuatu” dikenal melalui kebalikannya, Keadilan tentu baik dikenal melalui ketidakadilan. Kata dalam bahasa Arab untuk ketidakadilan adalah “Dzulm” yang digunakan dalam berbagai pengertian. Misalnya, Al-Qur’an Surat (2: 59), digunakan dengan pengertian pelanggaran; dalam (4: 64) dengan pengertian tidak adil; dalam (42: 41) dengan pengertian salah; dalam (10: 64) dengan pengertian dosa, sementara kata “qish” menyatakan keadilan. Jadi, keadilan adalah kebaikan yang tidak mengandung pelanggaran, kekejaman, kesalahan maupun dosa. Singkatnya, melakukan keadilan berarti tidak melakukan ketidakadilan.
Keadilan dalam Islam adalah keadilan yang merupakan kewajiban yang ditentukan oleh Tuhan (Allah). Berdiri kokoh demi keadilan meskipun hal itu mungkin akan mengganggu kepentingan kita atau kepentingan orang atau sekelompok orang yang mencintai kita. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 8:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian-mu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. Berlakulah dengan adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”.

Pada Surat dan ayat lain Allah juga menegaskan:

“Janganlah kalian mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang bermanfaat, hingga ia dewasa…… Apabila kalian berkata maka berkatalah dengan adil, kendatipun ia adalah kerabat-mu. Penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperingatkan agar kalian ingat”.

Keadilaan dalam Islam adalah keadilan yang merupakan perpaduan yang menyenangklan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah. Berbeda dengan keadilan yang didefenisikan oleh Plato yang hanya menekankan moralitas dan Aristoteles yang yang menekakankan kepentingan hukum.

D. Penutup
Bahwa Islam sebagai satu ajaran agama untuk semua ummat, disamping memberikan pedoman tentang hubungan dengan sang khaliq juga mengajarkan manusia untuk berbuat keadilan sebagai salah-satu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Allah.
Bahwa keadilan dalam Islam adalah keadilan untuk semua manusia tanpa membedakan suku, agama, dan ras. Dan keadilan dalam Islam adalah keadilan yang menggabungkan nilai-nilai moral dan kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Bustanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prosfeknya, Gema Insani Press, Jakarta.
Fuad Moh. Fachruddin, 1959, Hikmat dan Filsafat Syare’at Islam, Yayasan Dharma Setia, Jakarta.
I.R. Poedjawijatna, 1980, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta.
Mohammad Muslehuddin,1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Tiara Wacana, Yogyakarta.
N. Drijarkara, 1989, Percikan filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta.
Nurcholis Madjid, 1994, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Qur’an
Al-Hadits

Selasa, 12 Februari 2008

Baru

Baru dibuat nih