A. PENDAHULUAN
Hukum dan keadilan adalah dua makna yang saling berhubungan, adanya hukum adalah dalam rangka menuju kepada keadilan dan esensi dari keadilan itu merupakan dari cita-cita hukum. Sehingga antara hukum dan keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, walaupun dalam kenyataannya tujuan hukum belum tentu keadilan.
Agama dan filsafat adalah dua bidang kajian yang sangat berbeda dasar pijakannya. Tetapi keduanya bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai hubungan. Demikian juga halnya bila dihubungkan antara filsafat, hukum, dan keadilan dengan agama Islam.
Agama mempunyai pijakan kepercayaan dan ketertundukan seutuhnya yang didasarkan pada keyakinan atas kebenaran apa yang dipercayai itu dan benar serta wajarnya tempat kepercayaan itu menurut pikiran yang waras. Kepercayaan yang berdasarkan keyakinan (wahyu) itu bertempat di dalam kalbu (hati atau dada) seseorang. Kepercayaan yang demikian tidak dapat tercapai dengan sempurna dan lengkap dengan syarat-syaratnya kalau tidak bersandarkan pikiran yang sehat. Tidak ada kepercayaan yang kekal kalau tidak berdasarkan akal pikiran. Demikian pula halnya dengan filsafat.
Descartes, seorang tokoh besar yang menjadi pelopor pembaharuan dalam abad XVII, menyatakan bahwa yang menjadi dasar dan jiwa filsafatnya adalah prinsip yang asasi; “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, jadi aku ada” . Di sini terlihat bahwa filsafat bertitik tolak kepada suatu kebenaran yang fundamental. Kebenaran fundamental adalah rumusan dari pengalaman yang fundamental, pengalaman yang asasi. Maine de Biran, seorang filosof Prancis menyebut pengalaman itu dengan istilah; fait primitif, atau peristiwa yang pertama. Dan oleh Louis Lavelle, juga seorang pemikir Prancis menyebutnya dengan; experience initiale, pengalam yang merupakan permulaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah karena kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu.
Agama dan filsafat mempunyai suatu persamaan, yaitu diberikannya tempat bagi manusia untuk berpikir. Perintah berpikir dan untuk mempelajari sesuatu dengan akal sangat banyak kita jumpai di dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti:
“Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal-budi” (Al-Qur’an, S. Al-Hasyr: 2)
Ini adalah perintah tertulis (nash) untuk wajibnya mempergunakan pemikiran rasional, atau sekaligus rasional dan syar’i.
“Dan langit ditinggikan Tuhan dengan meletakkan timbangan keadilan. Sebab itu, janganlah kamu mengkhianati timbangan. Dirikanlah timbangan keadilan, jangan mengurangi timbangan. Dan bumi disediakan Tuhan bagi manusia (untuk menjalankan keadilan itu)”. (Al-Qur’an, S, 55: 7-10)
“Dan Janganlah sekali-kali kebencian-mu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. Berlakulah dengan adil, karena adil itu lebih dekat kepada sifat taqwa” (Al-Qur’an, S, Al-maidah: 8)
“Sesungguhnya Tuhan memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan(ihsan) serta memberi pertolongan kepada seluruh kerabat keluarga. Melarang segala kekejian, kemungkaran dan penganiayaan. Tuhan mengajari kamu, agar kamu mengingat” (Al-Qur’an, S, 16: 90)
“Hai orang-orang yang beriman! Berdirilah dengan lurus memegang keadilan, menjadi saksi karena Tuhan, sekalipun (menyusahkan) terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan keluargamu. Jika ia (terdakwa) kaya atau miskin, maka Tuhan lebih utama dengan keduanya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sendiri, sehingga berlaku tidak adil. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Tuhan maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (Al-Qur’an, S, 4: 135). Serta seterusnya dan banyak lagi ayat-ayat yang lain.
B. Sumber Dan Tujuan Hukum Islam
1. Sumber Hukum Islam
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril AS yang bertujuan untuk kemaskahatan seluruh ummat manusia.
b. As-Sunnah
As-Sunnah adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan tingkah laku Rasululhah SAW untuk menyempurnakan apa yang kurang jelas, untuk menghilangkan keraguan dalam soal yang samar dan memberi pimpinan dalam mengartikan agama yang selalu didasarkan pada Al-qur’an
2. Ciri-ciri dan Tujuan Hukum Islam
a. Ciri-ciri Hukum Islam
Setiap sistem hukum yang ada selalu mempunyai ciri-ciri tersendiri, demikian pula halnya dengan hukum Islam. Sebagian besar para pemikir hukum Islam menyebutkan, bahwa ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut;
1) Universal
Bercirikan universal artinya, Agama Islam bersifat universal (‘alamy) mencakup semua manusia di dunia ini, yang tidak dibatasi oleh lautan maupun daratan atau wilayah teritorial suatu negara.
“Dan tidaklah Aku (Allah) mengutusmu wahai Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam” (Al-Qur’an, S, : )
2) Kemanusiaan (humanism)
Bercirikan kemanusiaan artinya, bahwa hukum Islam mensyari’atkan wajibnya tolong menolong, zakat, infaq, dan shadaqah, merupakan sebagian kecil dari dari contoh humanisme dalam Islam.
3) Moral (akhlaq)
Moral dan akhlaq sangat penting dalam pergaulan hidup manusia di dunia. Dan Nabi Muhammad diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq.
“Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq” (Al-Hadits)
b. Tujuan Hukum Islam
1) Memelihara Kemaslahatan Agama
Memelihara kemaslahatan agama, maksudnya adalah bahwa agama (Islam) harus terpelihara daripada ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, yang hendak merusak akidahnya, ibadah, dan akhlaqnya. Atau yang akan mencampur-adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai paham dan aliran yang bathil. Agama Islam memberikan perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan untuk melaksanakan ibadan menurut agama yang dianutnya.
2) Memelihara Jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishash (pembalasan yang setimpal dan seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, akan berpikir dengan seksama karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka pembunuh juga akan dikenakan pembalasan yang setimpal, yaitu akan diberi sanksi hukuman mati, atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka sipelaku akan dicederai pula.
3) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah yang telah diberi bentuk yang paling baik dalam bentuk fisik dan diberikan pula kepadanya akal, yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lainnya. Karena itu harus dijaga dan dipelihara.
4) Memelihara Keturunan
Manusia sebagai khalifah Tuhan (Allah) ditakdirkan untuk mati dan untuk tidak hidup selama-lamanya (abadi). Karena itu manusia dituntut unttuk meninggalkan keturunan (generasi) yang baik. Hukum Islam mengajarkan agar manusia dalam mendapatkan dan meninggalkan generasi yang baik tersebut dengan melalui lembaga perkawinan (pernikahan) serta dilakukan menurut cara-cara yang benar dan sah.
5) Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Dalam tujuan ini, Islam mengajarkan adanya jual beli dan mengharamkan riba. Dalam hal menjaga kehormatan, Islam mengajarkan untuk tidak saling menghina dan mengejek antar kaum.
C. Hukum Dan Keadilan
1. Hakikat Hukum
Apabila kita mencari pengertian tentang apakah hukum itu, maka kiita tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sempurna bagi pertanyaan itu. Akan tetapi tidak berarti bahwa kita tidak mengetahui apakah arti hukum itu. Immanuel Kant pernah mengucapkan suatu perkataan, “Noch suchen die juristen eine defenition zu ihrem begriffe von recht (para yuris masih mencari suatu dfenisi bagi pengertian mereka tentang hukum). Apakah sama sekali mustahil membuat suatu defenisi tentang hukum, yakni suatu perumusan yang pendek dan substansial tentang tentang makna hukum? Van Apeldoorn menulis, bahwa tidak mungkin memberikan defenisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan.
Oxford English Dictionary memberikan defenisi tentang hukum, adalah “kumpulan aturan-aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat tertentu mengaku terikatsebagai anggota atau sebagai subjeknya”. Sedangkan menurut Hooker, istilah hukum berlaku bagi setiap aturan atau norma dimana perbuatan-perbuatan terpola. Black Stone mengatakan bahwa hukum dalam pengertiannya yang paling umum dan komprehensip berarti suatu aturan bertindak, dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada segala macam perbuatan baik yang bernyawa ataupun tidak, rasional maupun irrasional
2. Pengertian Keadilan
Keadilan merupakan tujuan akhir dari hukum dan merupakan tujuan tertinggi dari pembahasan Filsafat hukum. Cita-cita keadilan merupakan cita-cita hukum yang sudah sangat tua, dan mendapat tempat utama dalam pembahasan para pemikir-pemikir hukum.
Plato dalan buku Republikanya, mengatakan bahwa keadilan mengandung arti hubungan harmonis dengan berbagai bagian organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisinya dan melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan sifat alamiahnya. Sedangkan Aristoteles mengkaji keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya, keadilan itu mempunyai suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang ada di dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.
Sesuai dengan fungsi ganda keadilan itu, Aristoteles membagi keadilan tersebut ke dalam dua bentuk keadilan, yaitu; keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan yang pertama ditentukan oleh pembuat undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proforsional. Sedangkan keadilan yang kedua, menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan meng-establish-kan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi kepadanya atas miliknya yang hilang.
3. Hukum dan Keadilan Menurut Islam
a. Hukum Menurut Islam
Menurut teori klasik, hukum Islam atau syari’ah adalah perintah Tuhan (Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol masyarakat Islam dan tidak dikontrol olehnya.
Dalam Agama Islam ada dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi hukum Islam, yaitu: Syari’ah (syara’) dan Fiqih. Syari’at adalah adalah hukum-hukum yang telah jelas nash-nya atau qath’i; sedangkan fiqih adalah hukum-hukum yang dzanni atau debatable, yang dapat dimasuki pikiran manusia (ijtihadi). Syari’at merupakan kalam nafsi azali yang hanya Allah sendiri yang mengetahui maksud dan tujuannya. Diturunkan kalam lafzi berupa Al-Qur’an untuk manusia. Yang membuat syari’at adalah Allah sendiri, Syari’ dari syari’at itu adalah Allah. Rasulullah SAW, dalam tuntunannya sebelum risalah berlangsung tetap berpedoman kepada wahyu Ilahi. Karena itu, apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah murni syari’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah SWT. Karena itu pula, sumber pokok syari’at untuk orang Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits) Nabi.
Syari’at tidak mungkin diketahui oleh manusia tanpa adanya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun itupun juga belum cukup, lalu Allah memberi manusia akal pikiran untuk pemahaman segala sesuatu dalam hidup di dunia. Akal pikiran itu pulalah yang harus digunakan manusia untuk memahami hukum-hukum syari’at dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Apa yang dihasilkan manusia itu bukan lagi syari’at melainkan fiqih, karena telah bercampur dengan akal pikiran manusia atau pemahaman manusia yang bersandarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu kita sering mendengar dan menyebutnya dengan “fiqih Syafi’i”, “fiqih Hanafi” dan lain-lain itu adalah hasil ijtihad, hasil karya akal pikiran mereka dalam mengeluarkan hukum dari sumber pokok Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
b. Hakekat Keadilan
Dalam Islam, keadilan memiliki pengertian tersendiri. Ia sama dengan keyakinan suci, suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan jujur. Ini untuk mengindentifikasikan kepentingan-kepentingan seseorang dengan orang lain dan melaksanakan keyakinan itu dengan segala kesungguhan seolah-olah merupakan ketaqwaan. Tidak boleh ada unsur subyektif dalam defenisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap berpikir yang reflektif dan pendekatan yang objektif terhadap masalah yang dihadapi. Karena itu, keadilan adalah kualitas berlaku adil secara moral dan rahmat dalam memberikan kepada setiap manusia akan haknya.
Menurut Razi dan penafsir Al-Qur’an lainnya, kata “amanah”, dalam bentuk jama’ terdiri atas segala bentuk amanah yang harus dilaksanakan oleh seseorang, dimana yang paling utama adalah “keadilan”. Keadilan merupakan pengertian yang luas dan mungkin mencakup semua kebaikan, tetapi agama meminta sesuatu lebih ramah dan lebih manusiawi. “Sesuatu” dikenal melalui kebalikannya, Keadilan tentu baik dikenal melalui ketidakadilan. Kata dalam bahasa Arab untuk ketidakadilan adalah “Dzulm” yang digunakan dalam berbagai pengertian. Misalnya, Al-Qur’an Surat (2: 59), digunakan dengan pengertian pelanggaran; dalam (4: 64) dengan pengertian tidak adil; dalam (42: 41) dengan pengertian salah; dalam (10: 64) dengan pengertian dosa, sementara kata “qish” menyatakan keadilan. Jadi, keadilan adalah kebaikan yang tidak mengandung pelanggaran, kekejaman, kesalahan maupun dosa. Singkatnya, melakukan keadilan berarti tidak melakukan ketidakadilan.
Keadilan dalam Islam adalah keadilan yang merupakan kewajiban yang ditentukan oleh Tuhan (Allah). Berdiri kokoh demi keadilan meskipun hal itu mungkin akan mengganggu kepentingan kita atau kepentingan orang atau sekelompok orang yang mencintai kita. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 8:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian-mu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. Berlakulah dengan adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”.
Pada Surat dan ayat lain Allah juga menegaskan:
“Janganlah kalian mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang bermanfaat, hingga ia dewasa…… Apabila kalian berkata maka berkatalah dengan adil, kendatipun ia adalah kerabat-mu. Penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperingatkan agar kalian ingat”.
Keadilaan dalam Islam adalah keadilan yang merupakan perpaduan yang menyenangklan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah. Berbeda dengan keadilan yang didefenisikan oleh Plato yang hanya menekankan moralitas dan Aristoteles yang yang menekakankan kepentingan hukum.
D. Penutup
Bahwa Islam sebagai satu ajaran agama untuk semua ummat, disamping memberikan pedoman tentang hubungan dengan sang khaliq juga mengajarkan manusia untuk berbuat keadilan sebagai salah-satu sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Allah.
Bahwa keadilan dalam Islam adalah keadilan untuk semua manusia tanpa membedakan suku, agama, dan ras. Dan keadilan dalam Islam adalah keadilan yang menggabungkan nilai-nilai moral dan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bustanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prosfeknya, Gema Insani Press, Jakarta.
Fuad Moh. Fachruddin, 1959, Hikmat dan Filsafat Syare’at Islam, Yayasan Dharma Setia, Jakarta.
I.R. Poedjawijatna, 1980, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta.
Mohammad Muslehuddin,1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Tiara Wacana, Yogyakarta.
N. Drijarkara, 1989, Percikan filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta.
Nurcholis Madjid, 1994, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Qur’an
Al-Hadits
Senin, 24 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Maju terus pantang mundur
Posting Komentar